Minggu, 22 April 2012

Menjadi Taqwa Yang Sebenarnya


Kata taqwa, diambil dari akar kata waqaya, yang artinya menjaga, memelihara, melindungi, menyelamatkan dan lain-lain. Kata taqwa adalah masdar dari ittaqaa, yang artinya sikap hidup atau sikap mental seseorang yang selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya, terus menerus menjaga sikap dan tingkah lakunya dalam setiap kondisi. Adapula yang mengartikan taqwa  sebagai “takut” kepada (siksa) Allah, dengan harapan agar seseorang mau mentaati segala perintah Allah. 
Allah berpesan kepada kita sebagai hambaNya, agar  menjadi orang yang benar-benar bertaqwa hingga akhir hayat. Hanya dengan bertaqwalah kita akan terpelihara, terlindungi, terselamatkan dan terjaga sikap dan perilaku dari perbuatan yang tidak baik dalam menjalani dinamika kehidupan yang beraneka ragam ini.


Pesan-pesan taqwa ini, sering pula disampaikan oleh para ustad saat khutbah jumat, bahkan sebagai salah satu rukun khutbah. Pesan taqwa itu antara lain berbunyi ;  

"Hai,orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan muslim”.
(Qs.Ali imran 102)

Dalam kitab Mifthahus Shudur, KH.Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin menyatakan seseorang disebut sebagai orang yang benar-benar taqwa, bila:

1) Taat, tidak khianat kepada Allah 
2) Bersyukur, tidak kufur nikmat 
3) Ingat, tidak lupa kepada Allah.

Ciri pertama orang yang taqwa pastilah akan mentaati segala perintah Allah dan Rasulnya dan tidak akan menghianatinya. Anjuran untuk mentaati Allah dan Rasulnya:

Hai,orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ‘Ulil Amri 
(pemegang kekuasaan) diantara kamu. Jika kamu berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya. Jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (Qs. Annisa 59)

Ketaqwaan, secara individual, akan melahirkan orang-orang yang patuh dan  taat pada aturan agama. Sedangkan secara sosial akan taat pada pemerintah. Bentuk ketaatan itu seperti taat dalam membayar pajak, ikut berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat dan bisa mandiri dalam mengatur dirinya. Ketaatan kepada pemerintah yang bersumber ketaatan kepada agama akan melahirkan kesadaran dan kepedulian sosial yang sejalan dengan masyarakat madani.
Bila berselisih faham dalam suatu masalah, harus dikembalikan menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits. Bila tidak ditemukan dari keduanya, maka terbuka pintu ijtihad secara kolektif sesuai prinsif syuro. Hal ini menurut Allah akan lebih baik hasilnya untuk kepentingan bersama. Orang yang tidak taat kepada Allah, Rasul dan ‘Ulil Amri adalah orang yang khianat dan berdosa.

Ciri kedua orang taqwa yaitu mensyukuri nikmat Allah.
Begitu besar nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, seperti nikmat iman, islam, ihsan dan kesehatan. Sehingga sudah seharusnya nikmat itu kita syukuri dengan cara beragam dan berusaha dengan baik dan maksimal. Orang yang bersyukur niscaya akan mendapat banyak kebaikan dari Allah. Dan sebaliknya orang yang kufur berarti ia tidak mengakui adanya nikmat Allah pada dirinya, dan tidak akan dapat nikmat lagi. Di akhirat orang ini akan mendapat siksaan yang pedih dari Allah (Qs.Ibrahim 7).
           
Ciri ketiga orang yang taqwa adalah ingat kepada Allah.
Dengan ingat kepada Allah hati menjadi tenang dan tentram. Ketenangan dan ketentraman batin adalah prasyarat seseorang bisa hidup bahagia. Dengan ingat kepada Allah, iman jadi terpelihara dan terbarui, seperti sabda Rasulullah saw;

Rasul    : Perbaruilah selalu imanmu,
Sahabat: Bagaimana cara kami memperbarui iman?
Rasul    : Perbanyaklah ucapan la ilaha ilallah.

Hasil dari dzikir, baik secara jahar yang dilakukan setelah shalat wajib atau sunnah dan dzikir khafi yang dilakukan setiap saat kapan dan dimanapun kita berada, akan menjadikan seseorang ;
1)         Tidak menjadi takut dalam setiap keadaan
2)         Selalu merasa senang terhadap segala yang diberikan Allah kepadanya.

Dzikir adalah makanan hati, santapan rohani, kunci menuju taqwa dan wara’. Taqwa adalah pintu menuju akhirat. Sedangkan hawa nafsu adalah pintu dunia, yang bisa melalaikan manusia dari mengingat Allah. Karenanya Allah Swt berfirman:

…“Berzikirlah sebagaimana yang diterangkan,agar kamu bertaqwa” (Qs.Albaqarah 63)

Orang yang lalai/tidak ingat kepada Allah, akan menghadapi jiwa yang terbelenggu dan pikiran yang sempit, seperti firman-Nya:

“Siapa yang berpaling dari mengingatKu, maka ia akan menjalani kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya dalam keadaan buta. Mereka bertanya, Ya,Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta?padahal dulu aku melihat? Allah Berfirman : “demikianlah dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, maka pada hari ini kamu diabaikan”. (Qs.Thaha 124-126) 

Demikianlah Allah membalas orang-orang yang melampaui batas yang tidak percaya kepada ayat-ayat Allah. Mereka ini akan mendapatkan  azab Allah yang berat dan kekal.

Orang yang berpaling dari mengingat Allah menurut ayat diatas disebut orang yang buta. Namun yang buta bukan buta matanya, tetapi mata hati yang ada di dalam dada, seperti ayat berikut;

“Tetapi sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada didalam dada”.(Qs.Alhaj 46).

Sebab-sebab yang membutakan mata hati itu menurut Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, karena kebodohan, tidak faham terhadap hakikat perintah Allah. Buta mata hati melahirkan perilaku zalim, seperti: takabur, iri dengki, kikir, ujub, gibah, fitnah, dusta dan sifat-sifat tercela lainnya yang membuat manusia jadi hina.

Sifat-sifat tersebut adalah penyakit hati yang harus dibersihkan,melalui taubat dan dzikir, agar manusia bisa mengendalikan hawa nafsunya dan berakhlak mulia. Dalam suatu sabdanya Rasul menyatakan:

“Tiap –tiap sesuatu ada alat pembersihnya, alat pembersih hati adalah dzikrullah”.

Membersihkan jiwa untuk melawan kehendak hawa nafsu yang keji memerlukan perjuangan besar dan fardhu ‘ain hukumnya. Jika hati dan jiwa masih dihinggapi penyakit hati, maka seseorang akan sulit untuk bisa khusyu dalam ibadah dan mendekat secara spiritual kepada Allah. Dalam suatu firman-Nya,Allah menyerukan:

 "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan  diri kepadaNya dan berjihadlah dijalanNya,supaya kamu sukses”. (QS. Al-Maidah: 35)

Jalan yang paling cepat dan tepat untuk mendekat kepada Allah melalui rukun ihsan (tasawuf), praktiknya melalui tarekat, dengan bimbingan guru mursyid yang musalsal, (silsilahnya tersambung sampai pada Rasulullah), diantaranya Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya (TQN Suryalaya) dengan Wali Mursyidnya Syekh Ahmad Shahibul Wafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom).

Aspek ihsan inilah yang kurang dijalankan oleh umat Islam dalam kehidupan beragama, sehingga lemah di bidang etika dan akhlak. Kita cenderung melaksanakan aspek islam dan iman saja. Padahal Iman-Islam dan Ihsan merupakan tiga pilar kesatuan yang tidak boleh dipisahkan (integrated).

Beberapa dalil al-Qur’an yang menganjurkan perlunya berihsan seperti ;

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepda orang-orang yang ihsan”. (QS Al-A’raf: 56).

“Sesunguhnya Allah menyukai orang-orang yang ihsan”. (QS Albaqarah: 195).

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berihsan”. ( QS An-Nahl:128)


Manfaat Taqwa

Untuk pulang kampung halaman bekalnya dana. Pulang kampung akhirat bekalnya adalah taqwa.

“Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepadaku wahai orang-orang yang berakal”. (Albaqarah 197).

Melalui ayat ini Allah berpesan dan mengajak kita orang berilmu untuk bertaqwa. Dengan bertaqwa hidup kita  bisa menegakkan ajaran agama, menjalin hubungan yang baik dengan Allah dan dengan sesama manusia.

Bagi orang  yang benar-benar bertaqwa, Allah akan memberikan bantuan berupa rezki dan kemudahan antara lain:

”Siapa yang taqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (dari segala kesulitan) dan memberinya rezki dari arah yang tak terduga”.
             
“Dan siapa yang taqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.

“Dan siapa yang taqwa kepada Allah, niscaya Dia akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan  pahalanya”. (QS Ath-Thalaq 2-5)

Taqwa memang mudah diucapkan, namun tidak mudah mengamalkannya. Namun dengan kesungguhan (mujahadah) melalui pendekatan tasawuf, insya Allah akan lebih mudah terwujud sifat-sifat taqwa dalam hati kita.

Azas Hidup Taqwa.
Dasar (filosofi) hidup seorang mukmin yang utama adalah taqwa dan mengharapkan ridhaNya. Tidak ada dasar kehidupan yang lebih sempurna selain dari pada taqwa dan mengharap ridhaNya. Inilah dasar hidup yang bisa menyelamatkan. Orang yang hidup berdasarkan nilai ketaqwaan, hati nuraninya akan senantiasa terbimbing kearah akhlak yang baik (akhlakul mahmudah).  Dengan ketaqwaan hidup kita akan selalu berada dijalan yang lurus, karena kita menyadari kehadiran Allah dalam hidup kita. 

Seluruh ayat Al-Qur’an seperti tergambar dalam ayat-ayat pertama Surah Al-Baqarah ditujukan untuk orang yang taqwa dengan cirinya:
  • mereka percaya pada yang gaib, 
  • menegakkan shalat dan 
  • mendermakan sebagian harta yang telah diberikan Allah kepada mereka.
Implikasi ketaqwaan sebagaimana ayat diatas akan melahirkan hubungan yang baik dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga dapat melahirkan akhlak yang baik, melalui pemberian zakat, infaq dan sedekah. 

Melalui taqwa, kita bisa menyadari keberadaan Allah dalam hidup ini. Karena itulah intisari ketaqwaan sebagaimana dinyatakan oleh Cak Nur: 
Taqwa adalah adanya kesadaran dalam batin kita bahwa Allah sanantiasa hadir dalam kehidupan kita. Allah juga menyertai kita, mengawasi kita bahkan memperhitungkan segala amal perbuatan kita, dimanapun dan kapanpun kita berada. 

Dalam firmanNya Allah menyatakan;

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”(QS. Al-Hadid: 4)

Bila Allah selalu bersama kita dimana saja dan kapan saja kita berada, seharusnya setiap orang akan menjadi baik. Karena adanya pengawasan  Allah. Namun ternyata kita belum baik semua. Hal ini berarti perlu adanya kesadaran dan paradigma baru dalam hidup beragama, bahwa Allah selalu hadir bersama kita. “Bersama Allah kita pasti bisa bahagia, namun bersama setan kita pasti akan celaka”. 

Pada dasarnya buah dari taqwa akan melahirkan sikap ikhlas, tulus dan berbuat tanpa pamrih, hanya pamrih kepada Allah saja. Jadi ketika kita berbuat baik atau beribadah bukan karena ingin dipuji oleh manusia, bahwa kita adalah orang yang baik atau ahli ibadah, karena hal ini bisa termasuk riya. Kita memang harus berbuat baik sesuai anjuran Allah dan panggilan hati nurani. Demikian pula kita berbuat baik bukan karena takut kepada orang lain. Kita juga meninggalkan perbuatan jahat bukan karena diawasi orang, melainkan karena efek dari ketaqwaan yang bersumber dari hati nurani yang membimbing kehidupan kita kearah budi pekerti mulia.

Taqwa juga adalah dasar untuk kehidupan dunia akhirat. Orang yang bertaqwa tidak akan mengabaikan kehidupan dunianya, sekalipun taqwa terkesan lebih mementingkan akhirat. Orang bertaqwa akan berpandangan bahwa dunia adalah tujuan jangka pendek (kebahagiaan sementara), sedangkan akhirat adalah tujuan jangka panjang (kebahagiaan abadi). Dalam strategi menuju kehidupan abadi, secara taktis, kehidupan jangka pendek pasti akan dilalui. Namun kehidupan akhirat disediakan Allah untuk mereka yang tidak mendominasi kehidupan di dunia dengan melalaikan kehidupan akhirat, seperti firmanNya;

“Negeri akhirat itu,Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka)bumi.Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.(QS. Al-Qhasas:83)

Secara rasio dan spiritual, ketika kita sunguh-sungguh berorientasi akhirat, maka pintu dunia seperti menjadi tertutup. Hal ini merupakan proses pembersihan dan adaptasi hati menuju hakikat dan makrifat. Sebaliknya bila terlalu berorientasi dunia, maka pintu akhirat seperti tertutup, sehingga membuat kita lalai akan tujuan hidup jangka panjang. Untuk bisa seimbang dunia akhirat memang tidak mudah, yang ideal adalah cenderung ke akhirat, dan tidak melupakan dunia, seperti pesan Allah ;

“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesunguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”(QS. Al-Qashas: 77). 

Dari ayat diatas bisa kita fahami, bahwa bila kita hanya berorientasi pada salah satu aspek kehidupan saja, dunia atau akhirat saja, berarti kita tidak berbuat baik kepada Allah. Hal ini tidak adil, karena Allah telah berbuat baik pada kita. Dan telah menyediakan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Semoga kita bisa mengambil pilihan yang tepat dan senantiasa hidup dalam bimbingan taqwa kepadaNya, amin ya rabbal alamin.

Oleh : Iskandar Ahza
dari : http://www.tqn-jakarta.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon mengisi Komentar karena kritik, saran & komentar sangat kami butuhkan...