Kata
taqwa, diambil dari akar kata waqaya, yang artinya menjaga, memelihara,
melindungi, menyelamatkan dan lain-lain. Kata taqwa adalah masdar dari
ittaqaa, yang artinya sikap hidup atau sikap mental seseorang yang selalu
berhati-hati dalam setiap tindakannya, terus menerus menjaga sikap dan tingkah
lakunya dalam setiap kondisi. Adapula yang mengartikan taqwa sebagai
“takut” kepada (siksa) Allah, dengan harapan agar seseorang mau mentaati segala
perintah Allah.
Allah
berpesan kepada kita sebagai hambaNya, agar menjadi orang yang
benar-benar bertaqwa hingga akhir hayat. Hanya dengan bertaqwalah kita akan
terpelihara, terlindungi, terselamatkan dan terjaga sikap dan perilaku dari
perbuatan yang tidak baik dalam menjalani dinamika kehidupan yang beraneka
ragam ini.
Pesan-pesan
taqwa ini, sering pula disampaikan oleh para ustad saat khutbah jumat, bahkan
sebagai salah satu rukun khutbah. Pesan taqwa itu antara lain berbunyi ;
"Hai,orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan
janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan muslim”.
(Qs.Ali imran 102)
(Qs.Ali imran 102)
Dalam
kitab Mifthahus Shudur, KH.Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin menyatakan
seseorang disebut sebagai orang yang benar-benar taqwa, bila:
1)
Taat, tidak khianat kepada Allah
2)
Bersyukur, tidak kufur nikmat
3)
Ingat, tidak lupa kepada Allah.
Ciri
pertama orang yang taqwa pastilah akan mentaati segala perintah Allah dan
Rasulnya
dan tidak akan menghianatinya. Anjuran untuk mentaati Allah dan Rasulnya:
”Hai,orang-orang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ‘Ulil Amri
(pemegang
kekuasaan) diantara kamu. Jika kamu berselisih faham tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya. Jika kamu beriman kepada Allah dan
hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (Qs.
Annisa 59)
Ketaqwaan,
secara individual, akan melahirkan orang-orang yang patuh dan taat pada
aturan agama. Sedangkan secara sosial akan taat pada pemerintah. Bentuk
ketaatan itu seperti taat dalam membayar pajak, ikut berpartisipasi dalam
pembangunan masyarakat dan bisa mandiri dalam mengatur dirinya. Ketaatan kepada
pemerintah yang bersumber ketaatan kepada agama akan melahirkan kesadaran dan
kepedulian sosial yang sejalan dengan masyarakat madani.
Bila
berselisih faham dalam suatu masalah, harus dikembalikan menurut Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Bila tidak ditemukan dari keduanya, maka terbuka pintu ijtihad
secara kolektif sesuai prinsif syuro. Hal ini menurut Allah akan lebih baik
hasilnya untuk kepentingan bersama. Orang yang tidak taat kepada Allah, Rasul
dan ‘Ulil Amri adalah orang yang khianat dan berdosa.
Ciri
kedua orang taqwa yaitu mensyukuri nikmat Allah.
Begitu
besar nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, seperti nikmat iman, islam,
ihsan dan kesehatan. Sehingga sudah seharusnya nikmat itu kita syukuri dengan
cara beragam dan berusaha dengan baik dan maksimal. Orang yang bersyukur
niscaya akan mendapat banyak kebaikan dari Allah. Dan sebaliknya orang yang
kufur berarti ia tidak mengakui adanya nikmat Allah pada dirinya, dan tidak
akan dapat nikmat lagi. Di akhirat orang ini akan mendapat siksaan yang pedih
dari Allah (Qs.Ibrahim 7).
Ciri
ketiga orang yang taqwa adalah ingat kepada Allah.
Dengan
ingat kepada Allah hati menjadi tenang dan tentram. Ketenangan dan ketentraman
batin adalah prasyarat seseorang bisa hidup bahagia. Dengan ingat kepada Allah,
iman jadi terpelihara dan terbarui, seperti sabda Rasulullah saw;
Rasul
: Perbaruilah selalu imanmu,
Sahabat:
Bagaimana cara kami memperbarui iman?
Rasul
: Perbanyaklah ucapan la ilaha ilallah.
Hasil
dari dzikir, baik secara jahar yang dilakukan setelah shalat wajib atau sunnah
dan dzikir khafi yang dilakukan setiap saat kapan dan dimanapun kita berada,
akan menjadikan seseorang ;
1) Tidak menjadi takut dalam setiap
keadaan
2) Selalu merasa senang terhadap segala
yang diberikan Allah kepadanya.
Dzikir
adalah makanan hati, santapan rohani, kunci menuju taqwa dan wara’. Taqwa
adalah pintu menuju akhirat. Sedangkan hawa nafsu adalah pintu dunia, yang bisa
melalaikan manusia dari mengingat Allah. Karenanya Allah Swt berfirman:
…“Berzikirlah
sebagaimana yang diterangkan,agar kamu bertaqwa” (Qs.Albaqarah 63)
Orang
yang lalai/tidak ingat kepada Allah, akan menghadapi jiwa yang terbelenggu dan
pikiran yang sempit, seperti firman-Nya:
“Siapa
yang berpaling dari mengingatKu, maka ia akan menjalani kehidupan yang sempit
dan Kami akan mengumpulkannya dalam keadaan buta. Mereka bertanya, Ya,Tuhanku,
mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta?padahal dulu aku melihat? Allah
Berfirman : “demikianlah dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu
mengabaikannya, maka pada hari ini kamu diabaikan”. (Qs.Thaha 124-126)
Demikianlah
Allah membalas orang-orang yang melampaui batas yang tidak percaya kepada
ayat-ayat Allah. Mereka ini akan mendapatkan azab Allah yang berat dan
kekal.
Orang
yang berpaling dari mengingat Allah menurut ayat diatas disebut orang yang
buta. Namun yang buta bukan buta matanya, tetapi mata hati yang ada di dalam
dada, seperti ayat berikut;
“Tetapi
sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada
didalam dada”.(Qs.Alhaj 46).
Sebab-sebab
yang membutakan mata hati itu menurut Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, karena
kebodohan, tidak faham terhadap hakikat perintah Allah. Buta mata hati
melahirkan perilaku zalim, seperti: takabur, iri dengki, kikir, ujub, gibah,
fitnah, dusta dan sifat-sifat tercela lainnya yang membuat manusia jadi hina.
Sifat-sifat
tersebut adalah penyakit hati yang harus dibersihkan,melalui taubat dan dzikir,
agar manusia bisa mengendalikan hawa nafsunya dan berakhlak mulia. Dalam suatu
sabdanya Rasul menyatakan:
“Tiap
–tiap sesuatu ada alat pembersihnya, alat pembersih hati adalah dzikrullah”.
Membersihkan
jiwa untuk melawan kehendak hawa nafsu yang keji memerlukan perjuangan besar
dan fardhu ‘ain hukumnya. Jika hati dan jiwa masih dihinggapi penyakit hati,
maka seseorang akan sulit untuk bisa khusyu dalam ibadah dan mendekat secara
spiritual kepada Allah. Dalam suatu firman-Nya,Allah menyerukan:
"Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepadaNya dan berjihadlah dijalanNya,supaya kamu
sukses”. (QS. Al-Maidah: 35)
Jalan
yang paling cepat dan tepat untuk mendekat kepada Allah melalui rukun ihsan
(tasawuf), praktiknya melalui tarekat, dengan bimbingan guru mursyid yang
musalsal, (silsilahnya tersambung sampai pada Rasulullah), diantaranya Tarekat
Qodiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya (TQN Suryalaya) dengan Wali
Mursyidnya Syekh Ahmad Shahibul Wafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom).
Aspek
ihsan inilah yang kurang dijalankan oleh umat Islam dalam kehidupan beragama,
sehingga lemah di bidang etika dan akhlak. Kita cenderung melaksanakan aspek
islam dan iman saja. Padahal Iman-Islam dan Ihsan merupakan tiga pilar kesatuan
yang tidak boleh dipisahkan (integrated).
Beberapa
dalil al-Qur’an yang menganjurkan perlunya berihsan seperti ;
“Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepda orang-orang yang ihsan”. (QS Al-A’raf: 56).
“Sesunguhnya
Allah menyukai orang-orang yang ihsan”. (QS Albaqarah: 195).
“Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berihsan”. ( QS
An-Nahl:128)
Manfaat
Taqwa
Untuk
pulang kampung halaman bekalnya dana. Pulang kampung akhirat bekalnya adalah
taqwa.
“Berbekallah
kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepadaku
wahai orang-orang yang berakal”. (Albaqarah 197).
Melalui
ayat ini Allah berpesan dan mengajak kita orang berilmu untuk bertaqwa. Dengan
bertaqwa hidup kita bisa menegakkan ajaran agama, menjalin hubungan yang
baik dengan Allah dan dengan sesama manusia.
Bagi
orang yang benar-benar bertaqwa, Allah akan memberikan bantuan berupa
rezki dan kemudahan antara lain:
”Siapa
yang taqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (dari
segala kesulitan) dan memberinya rezki dari arah yang tak terduga”.
“Dan
siapa yang taqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya”.
“Dan
siapa yang taqwa kepada Allah, niscaya Dia akan menutupi kesalahan-kesalahannya
dan akan melipat gandakan pahalanya”. (QS Ath-Thalaq 2-5)
Taqwa
memang mudah diucapkan, namun tidak mudah mengamalkannya. Namun dengan
kesungguhan (mujahadah) melalui pendekatan tasawuf, insya Allah akan lebih
mudah terwujud sifat-sifat taqwa dalam hati kita.
Azas
Hidup Taqwa.
Dasar
(filosofi) hidup seorang mukmin yang utama adalah taqwa dan mengharapkan
ridhaNya. Tidak ada dasar kehidupan yang lebih sempurna selain dari pada taqwa
dan mengharap ridhaNya. Inilah dasar hidup yang bisa menyelamatkan. Orang yang
hidup berdasarkan nilai ketaqwaan, hati nuraninya akan senantiasa terbimbing
kearah akhlak yang baik (akhlakul mahmudah). Dengan ketaqwaan hidup kita
akan selalu berada dijalan yang lurus, karena kita menyadari kehadiran Allah
dalam hidup kita.
Seluruh
ayat Al-Qur’an seperti tergambar dalam ayat-ayat pertama Surah Al-Baqarah
ditujukan untuk orang yang taqwa dengan cirinya:
- mereka percaya pada yang gaib,
- menegakkan shalat dan
- mendermakan sebagian harta yang telah diberikan Allah kepada mereka.
Implikasi
ketaqwaan sebagaimana ayat diatas akan melahirkan hubungan yang baik dengan
Allah dan dengan sesama manusia, sehingga dapat melahirkan akhlak yang baik,
melalui pemberian zakat, infaq dan sedekah.
Melalui
taqwa, kita bisa menyadari keberadaan Allah dalam hidup ini. Karena itulah
intisari ketaqwaan sebagaimana dinyatakan oleh Cak Nur:
Taqwa
adalah adanya kesadaran dalam batin kita bahwa Allah sanantiasa hadir dalam
kehidupan kita. Allah juga menyertai kita, mengawasi kita bahkan
memperhitungkan segala amal perbuatan kita, dimanapun dan kapanpun kita
berada.
Dalam
firmanNya Allah menyatakan;
“Dialah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di
atas `Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan”(QS. Al-Hadid: 4)
Bila
Allah selalu bersama kita dimana saja dan kapan saja kita berada, seharusnya
setiap orang akan menjadi baik. Karena adanya pengawasan Allah. Namun
ternyata kita belum baik semua. Hal ini berarti perlu adanya kesadaran dan
paradigma baru dalam hidup beragama, bahwa Allah selalu hadir bersama kita.
“Bersama Allah kita pasti bisa bahagia, namun bersama setan kita pasti akan
celaka”.
Pada
dasarnya buah dari taqwa akan melahirkan sikap ikhlas, tulus dan berbuat tanpa
pamrih, hanya pamrih kepada Allah saja. Jadi ketika kita berbuat baik atau
beribadah bukan karena ingin dipuji oleh manusia, bahwa kita adalah orang yang
baik atau ahli ibadah, karena hal ini bisa termasuk riya. Kita memang harus
berbuat baik sesuai anjuran Allah dan panggilan hati nurani. Demikian pula kita
berbuat baik bukan karena takut kepada orang lain. Kita juga meninggalkan
perbuatan jahat bukan karena diawasi orang, melainkan karena efek dari
ketaqwaan yang bersumber dari hati nurani yang membimbing kehidupan kita kearah
budi pekerti mulia.
Taqwa
juga adalah dasar untuk kehidupan dunia akhirat. Orang yang bertaqwa tidak akan
mengabaikan kehidupan dunianya, sekalipun taqwa terkesan lebih mementingkan
akhirat. Orang bertaqwa akan berpandangan bahwa dunia adalah tujuan jangka
pendek (kebahagiaan sementara), sedangkan akhirat adalah tujuan jangka panjang (kebahagiaan
abadi). Dalam strategi menuju kehidupan abadi, secara taktis, kehidupan jangka
pendek pasti akan dilalui. Namun kehidupan akhirat disediakan Allah untuk
mereka yang tidak mendominasi kehidupan di dunia dengan melalaikan kehidupan
akhirat, seperti firmanNya;
“Negeri
akhirat itu,Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan di (muka)bumi.Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi
orang-orang yang bertaqwa.(QS. Al-Qhasas:83)
Secara
rasio dan spiritual, ketika kita sunguh-sungguh berorientasi akhirat, maka
pintu dunia seperti menjadi tertutup. Hal ini merupakan proses pembersihan dan
adaptasi hati menuju hakikat dan makrifat. Sebaliknya bila terlalu berorientasi
dunia, maka pintu akhirat seperti tertutup, sehingga membuat kita lalai akan
tujuan hidup jangka panjang. Untuk bisa seimbang dunia akhirat memang tidak
mudah, yang ideal adalah cenderung ke akhirat, dan tidak melupakan dunia,
seperti pesan Allah ;
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesunguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”(QS. Al-Qashas: 77).
Dari
ayat diatas bisa kita fahami, bahwa bila kita hanya berorientasi pada salah
satu aspek kehidupan saja, dunia atau akhirat saja, berarti kita tidak berbuat
baik kepada Allah. Hal ini tidak adil, karena Allah telah berbuat baik pada
kita. Dan telah menyediakan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Semoga
kita bisa mengambil pilihan yang tepat dan senantiasa hidup dalam bimbingan
taqwa kepadaNya, amin ya rabbal alamin.
Oleh
: Iskandar Ahza
dari : http://www.tqn-jakarta.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon mengisi Komentar karena kritik, saran & komentar sangat kami butuhkan...