Minggu, 22 April 2012

Mencintai Rasul

Suatu ketika Rasulullah mengambil dan  memegang tangan Umar bin Khaththab, begitu girangnya Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau orang yang paling aku cintai dari apapun kecuali diriku”. Nabi saw bersabda, "Tidak, demi jiwa ku yang ada di tanganNya (tidak dikatakan beriman) sehingga aku lebih engkau cintai dari pada dirimu sendiri". Umar ra berkata, ”Kalau demikian, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Nabi saw bersabda, "Sekarang (telah benar keimananmu) wahai Umar". (H.R. Bukhari 8:161)

Itu adalah sikap tinggi dalam cinta (kepada Rasulullah saw), yaitu ketika seorang muslim menempatkan Rasulullah saw di atas kepentingan diri dan nafsu nya, kecintaan kepada Rasul saw atau sunnahnya lebih di dahulukan, terutama ketika terjadi konflik kepentingan di antara perintah Rasulullah atau sunnahnya dengan kepentingan diri atau nafsunya, mana yang akan didahulukan dan menjadi keputusannya ? Di sinilah keimanan yang tertuang dalam kecintaan terhadap Rasulullahsaw akan teruji.

Sudah menjadi satu konse-kuensi ketika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat "La Ilaha Illallah, Muhammadar Rasulullah", ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Mencintai Rasulullah saw  adalah kecintaan yang mengikuti kecintaan kepada Allah (Q.S. Ali Imran [3]:31), ungkapan cinta kita tidak boleh diungkapkan berdasar- kan perasaan kita, tetapi harus mengikuti dan men- contoh pula dengan apa yang diisyaratkan oleh Allah dan Rasulnya sendiri, karena kecintaan kepada Rasulullah merupakan persoalan ibadah yang bersifat tauqifiah (sudah ditentukan tata caranya). Karena tidak sedikit orang yang mengungkapkan rasa cintanya dengan tata cara yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.

Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah saw
Ali bin Abi Thalib ra pernah ditanya tentang kecintaannya kepada nabi saw, beliau mengatakan, "Demi Allah, beliau (nabi saw) adalah orang yang paling kami cintai dari pada harta, anak, ayah, dan ibu kami serta air yang dingin di saat kehausan".
Abu Sufyan mengatakan, "Saya tidak melihat seorang pun dari manusia mencintai yang lainnya, seperti kecintaan para sahabat Muhammad kepadanya."  Dan masih banyak lagi sikap dan ungkapan cinta para sahabat y kepada Rasulullah saw.
Ada banyak faktor yang menyebabkan bertambahnya kecintaan kita kepada Rasulullah saw, di antaranya ialah :
Pertama, Bershalawat kepadanya. Banyak macam dan cara shalawat yang diungkapkan oleh seseorang, sehingga namanya disandarkan kepada orang yang "men- ciptakan" cara shalawat tersebut.

Ketika turun perintah agar bershalawat kepada Nabi, para sahabat bertanya langsung kepadanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami harus mengucapkan shalawat kepadamu”. Beliau men jawab,“Ucapkan Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad kama shallaita 'ala ali Ibrahim innaka hamidun majidun, Allahumma barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad kama barakta 'ala ali Ibrahim innaka hamidun majidun".(H.R. Bukhari 8:95, Muslim 1:305). Inilah shalawat yang terbaik di antara sederet nama-nama shalawat yang dibuat dan diucapkan oleh seseorang, yakni shalawat yang langsung diajarkan oleh Rasulullah r sendiri, dalam hadits dikatakan "dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah saw". (H.R. Muslim 2:11).

Termasuk juga mengucap kan shalawat tersebut ketika disebut, didengar atau ditulis nama beliau, kita disunnahkan untuk bershalawat kepadanya, beliau saw bersabda, "Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang ketika disebut namaku ia tidak bershalawat kepadaku". (H.R. Tirmidzi 5:211)."

Kedua, Berinteraksi dengan sirahnya saw. Sejarah nabi Muhammad saw adalah sejarah manusia biasa yang men- dapatkan keistimewaan berupa kerasulan, tidak diberi dongeng-dongeng ataupun atribut ketuhanan seperti yang terjadi kepada Nabi Isa,  Nabi Musa, Budha, dan lainnya. Sehingga tidak bisa dicontoh atau diteladani. Sejarah beliau saw mencakup semua aspek kehidupan manusia, figur seorang bijak, ayah, pemimpin, da'i, negarawan, dan semua puncak keunggulan yang dicapai oleh manusia, terangkum dalam sosok Rasulullah saw. Dan sejarah beliau sendiri sekaligus menjadi bukti kebenaran risalah yang beliau bawa, bahwa beliau benar-benar Nabi utusan Allah.
Anas bin Malik ra. Menuturkan bahwa Rasulullah r adalah orang yang paling dermawan, paling bagus perangainya, dan paling berani. (H.R. Bukhari 6:95, Muslim 4:1802).
Abdullah bin Amer ra. Mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak pernah melakukan perbuatan buruk keji dan tidak pernah menjelek-jelekkan atau menghina orang lain, beliau saw bersabda, "Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya". (H.R. Bukhari 10: 456, Muslim 4:1810).

Interaksi semacam ini akan lebih memperkuat kecintaan seorang muslim kepada Nabi saw, bertambahnya kecintaan kepadanya berarti bertambah nya keimanan, dan inilah yang mendorong lahirnya mutaba'ah (mencontoh nabi saw) dan beramal shaleh. Meneladani Rasulullah saw dalam semua aspek hidup dan kehidupan nya; mempelajari hadits-haditsnya yang mulia, mengamalkan sunnah-sunnah nya, berakhlaq dengan akhlaqnya, dan beribadah sesuai dengan yang dicontoh kannya.

Ketiga, Beradab ketika membaca, mendengarkan dan memperlakukan hadits-haditsnya, beradab (sopan santun) terhadap Nabi r tidak hanya berlaku ketika beliau hidup, ketika sudah wafatpun adab tersebut harus tetap dijaga dan berlaku seperti halnya ketika beliau ada. Ketika turun ayat (QS. Al Hujurat [49]:2) Sahabat  Tsabit bin Qais ra mengasing- kan diri dan terus menerus menangis karena khawatir ayat tersebut diturunkan karena suaranya melebihi suara Rasulullah r, walaupun kemudian Rasulullah saw menjelaskan bahwa ia tidak dimaksudkan dalam ayat tersebut, bahkan ia akan hidup mulia dan mati syahid. Ini adalah di antara sikap para sahabat ketika Rasulullah saw masih hidup.

Ketika beliau sudah tidak ada pun sikap itu harus tetap terjaga, ketika berinteraksi dengan hadits-haditsnya. Para ulama mengatakan bahwa  para imam terdahulu (Salafus Shalih), tidaklah mereka membaca atau berbicara dengan hadits melainkan mereka dalam keadaan berwudhu (suci). Ibnu Al-Arabi mengatakan,“Apabila dibacakan hadits  dalam satu majlis, maka orang-orang yang hadir dalam majlis tersebut harus diam tidak boleh bersuara, dan tidak boleh pergi dari majlis kecuali dengan izin”.
Ucapan atau hadits Nabi saw adalah wahyu, maka hukum terhadap hadits-hadits Nabi saw sama dengan hukum terhadap Al Qur'an. Wallahu A’lam.-
   Ihsan Kamil, S.Pd.I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon mengisi Komentar karena kritik, saran & komentar sangat kami butuhkan...