Minggu, 22 April 2012

Mengembalikan Fungsi Masjid

Berasal dari bahasa Arab, masjid secara etimologis berarti tempat sujud. Sedangkan secara terminologis, masjid adalah tempat melakukan kegiatan ibadah dalam makna luas. Dengan demikian, masjid merupakan bangunan yang sengaja didirikan umat muslim untuk melaksanakan shalat berjamaah dan berbagai keperluan lain yang terkait dengan kemaslahatan umat muslim.
Akan tetapi, bila mencermati perkembangan dewasa ini, fungsinya yang kedua ini cenderung mulai berkurang, hal ini lantaran masjid sering hanya dipahami semata-mata untuk sujud sebagaimana dilakukan dalam shalat. Masjid memiliki peran yang signifikan dalam mengembangkan dan membangun kapabilitas intelektual umat, kegiatan sosial kemasyarakatan, meningkatkan perekonomian umat, dan menjadi ruang diskusi untuk mencari solusi permasalahan umat terkini

Akan tetapi, fungsi strategis di atas belakangan ini ternyata sudah banyak mengalami pergeseran. Bahkan, ada kecenderungan umum bahwa masjid lebih difungsikan dari aspek sakralnya saja, yakni ritual seremonial. Sebaliknya fungsi-fungsi pendidikan dan sosialnya justru kurang mendapat prioritas. Dan yang paling ironi kebanyakan dari pengurus masjid saat ini lebih memperhatikan kemegahan bangunannya. Kondisi inilah yang diprediksi menjadi salah satu faktor penyebab terhambatnya kemajuan umat Islam dan rapuhnya kesatuan umat Islam. Selain itu, barangkali pula, yang menjadi salah satu faktor penyebab mundurnya peradaban dan umat Islam. Padahal, masjid merupakan tempat yang cukup strategis untuk menjadi titik pijak penggerak kemajuan umat Islam dan titik temu dan perbedaan simbol-simbol material dan strata sosial yang sering melekat pada kehidupan masyarakat kita. Pendeknya, apa yang kita temui sekarang ini, peran masjid telah direduksi sedemikian rupa sehingga masjid cenderung berperan sebagai tempat pembinaan ibadah ritual semata.
Pada masa Nabi dan khulafa ar Rasyidin, masjid berfungsi sebagai tempat beribadah, menuntut ilmu, dan merencanakan kegiatan kemasyarakatan. Kaum muslimin membicarakan masalah-masalah agama, pendidikan, sosial, politik, dan berbagai masalah kehidupan di masjid, mengajak manusia pada keutamaan, kecintaan, pengetahuan, kesadaran sosial, serta pengetahuan tentang hak dan kewajiban kepada Tuhan dan Negara. Bermula dari masjid pula, mereka menyebarkan akhlak Islam dan memberantas kebodohan. Oleh karena itu, masjid merupakan tempat paling baik bagi kegiatan pendidikan dan pembentukan moral keagamaan.
Kita merasa prihatin menyaksikan banyaknya masjid yang sepi kegiatan keislaman. Pada umumnya, rumah ibadah ini selalu dikunci dan hanya dibuka pada waktu-waktu shalat. Dari sisi pertumbuhannya, masjid di Indonesia sangat menggembirakan karena dari tahun ke tahun jumlahnya kian bertambah. Kendati demikian, secara jujur harus diakui, bahwa pemanfaatannya belum optimal. Oleh karena itu, perlu diupayakan berbagai usaha untuk memakmurkannya, di samping memfungsikannya semaksimal mungkin secara terus menerus. Karenanya, menjadi tanggung jawab umat Islam khusus para pengelolanya untuk mengembalikan masjid sesuai fungsinya semula sebagai pusat segala kegiatan kaum muslimin. Akan tetapi, untuk memakmurkan masjid melalui optimalisasi peran dan fungsinya tersebut di atas tidaklah mudah, diperlukan kemampuan manajerial (idarah) dan kesiapan waktu dari para pengelola masjid. Tentunya harus ada pembenahan internal dari jamaah masjid itu sendiri. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain, mengaktifkan kepengurusan masjid, mengaktifkan kegiatan masjid, meningkatkan kepedulian terhadap amanah masjid, meningkatkan kualitas manajemen (idarah) masjid dan pemeliharaan fisik (ri’ayah) masjid.
Dalam upaya pemanfatan masjid, para pemerhati masjid termasuk di dalamya para pengelola perlu mengadakan berbagai program disertai fasilitas pendukungnya. Terdapat sejumlah kegiatan, yang perlu dijalankan untuk memakmurkan dan mengembalikan masjid kepada fungsinya sebagai pusat pemberdayaan dan pengembangan kaum Muslim, antara lain:

Mengintensifkan Kajian-kajian Keislaman (Majelis Ta’lim)
Dewasa ini, masyarakat melihat bahwa keberadaan majelis ta’lim merupakan salah satu alternatif bagi pembinaan mental keagamaan, sesuatu yang selama ini kurang dapat diberikan oleh lembaga pendidikan formal melalui kurikulum yang bersifat intrakurikuler.
Pada saat lembaga-lembaga pendidikan formal, baik umum maupun agama, yang dilaksanakan pemerintah maupun swasta mulai dirasa kurang mampu membina mental keagamaan dan penguasaan terhadap tuntutan praktis dan ajaran agama secara memuaskan. Lembaga-lembaga pendidikan umum dan agama, sulit menghasilkan lulusan yang betul-betul memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama dengan baik. Mereka tidak dapat membaca ayat-ayat al-Quran dengan baik, melaksanakan ibadah shalat dengan baik, kurang giat melakukan ibadah ritual, kurang dapat menjiwai ajaran dan nilai—nilai ajaran agama serta mulai merosot akhlaknya. Munculnya fenomena tersebut telah banyak dicarikan akar penyebabnya. Di antaranya, kurangnya jam pelajaran agama, kurangnya perhatian dan waktu pembinaan yang dilakukan orangtua di rumah, tidak sebandingnya bekal agama yang dimiliki para siswa dengan tantangan arus budaya global yang berdampak negatif, lingkungan yang kurang sehat, dan bergesernya konsep pendidikan menjadi konsep pengajaran yang lebih menekankan pada pengisian otak si anak dengan berbagai pengetahuan. Sejumlah alasán tersebut memberikan peluang sangat luas dan terbuka bagi majelis taklim untuk menampilkan keberadaannya sebagai wahana dan metode pembelajaran agama yang dinamis dan demokratis, di tengah-tengah keformalan dan keterbatasan metode pembelajaran agama secara klasikal dan konvensional di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan formal lainnya.

Melibatkan para pemuda

Tidak diragukan lagi bahwa para pemuda memiliki peran yang sangat penting dalam tatanan kehidupan manusia secara umum dan masyarakat kaum muslimin secara khusus, karena jika mereka pemuda yang baik dan terdidik dengan adab-adab Islam maka merekalah yang akan menyebarkan dan mendakwahkan kebaikan Islam serta menjadi nakhoda umat ini yang akan mengantarkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat. Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kepada mereka kekuatan badan dan kecemerlangan pemikiran untuk dapat melaksanakan semua hal tersebut.
Masjid dalam hal ini tentu saja juga memiliki peran dan posisi yang strategis guna mengawal golongan generasi muda tersebut melewati masa peralihannya yang penuh gejolak itu dengan baik, yaitu utamanya dalam wadah organisasi remaja masjid. Tercatat, saat ini telah mulai banyak berdiri organisasi remaja masjid di banyak masjid dan menjadi bagian resmi dari struktur organisasi kepengurusan masjid. Di dalam organisasi ini, para anggota remaja Islam dibina dan dibentuk karakter kepribadian dan kecerdasannya sehingga kelak mampu menjalani kehidupan yang lebih Islami. Caranya, lewat berbagai macam metode dan kegiatan, di mana minat, bakat, dan kemampuan positif yang dimiliki para remaja tetap dapat diakomodasi dan disalurkan.
Bagi masjid sendiri, keberadaan organisasi remaja masjid sejatinya juga penting dalam mendukung tercapainya kemakmuran masjid yang dicita-citakan. Pasalnya, kendati tanpa remaja kegiatan masjid tetap bisa berjalan, namun secara jangka panjang tidak ada jaminan hal tersebut akan terus berlangsung, bahkan menjadi lebih baik dan bermutu. Bagaimanapun, keadaan masjid pada sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun mendatang, salah satu tolok ukurnya adalah bagaimana kondisi remajanya pada masa sekarang. Bila tidak ada pembinaan dan proses pengkaderan yang terstruktur, berjenjang, dan berkesinambungan sejak dini, bisa dipastikan masa depan masjid bersangkutan akan suram.
Hal demikian kiranya yang masih kurang dipahami oleh sementara kalangan pemimpin masjid. Tidak heran, kalaupun terdapat organisasi remaja masjid, proses awal pembentukkannya tidak melibatkan kalangan remaja secara aktif dan luas. Sementara, dalam praktiknya pun organisasi ini hanya ditempatkan sekadar “pelengkap penderita”, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi atau digerakkan oleh kalangan tua untuk membantu merealisasikan aneka kegiatan masjid. Semisal, yang kerap terjadi, dalam penyelenggaraan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) dan kerja bakti di masjid.

Perpustakaan masjid

Salah satu faktor penyebab mundurnya peradaban dan umat Islam adalah jauhnya umat Islam dari ilmu pengetahuan (baca: buku). Pembinaan umat yang selama ini berjalan cenderung hanya menggunakan pendekatan komunikasi lisan satu arah yang justru membuat para jamaah terbiasa dengan budaya dengar. Pembinaan terpusat pada dai, ustadz, atau juru dakwah semata. Alhasil, jamaah tidak termotivasi, tidak mandiri, dan menjadi pasif dalam mendalami ajaran Islam.
Membaca merupakan bagian paling penting dari proses menuntut ilmu. Dengan membaca kita jadi tahu apa yang selama ini tidak kita ketahui. Dengan membaca inilah ilmu kita dapatkan, amal bisa kita tegakkan, dan dakwah bisa kita suarakan, Perpustakaan masjid sebagai perpustakaan komunitas bisa menjadi sebuah alternatif yang sangat bagus jika dikelola dengan baik. Bayangkan, jika setiap masjid di kampung dan desa mempunyai perpustakaan, tentu akan semakin mudah bagi masyarakat untuk mengakses bahan-bahan bacaan, Perpustakaan masjid akan menjadi sumber bacaan yang lebih merakyat karena tidak membutuhkan birokrasi yang rumit. Namun kenyataannya, praktek di lapangan sering berbeda dengan kondisi ideal yang diinginkan

Kesimpulan
Dari sisi pertumbuhannya, masjid sangat menggembirakan karena dari tahun ke tahun jumlahnya kian bertambah. Kendati demikian, secara jujur harus diakui, bahwa pemanfaatannya belum optimal. Oleh karena itu, perlu diupayakan berbagai usaha untuk memakmurkannya, di samping memfungsikannya semaksimal mungkin secara terus menerus. Karenanya, menjadi tanggung jawab umat Islam khusus para pengelolanya untuk mengembalikan masjid sesuai fungsinya semula, sebagai pusat segala kegiatan kaum muslimin. Akan tetapi, untuk memakmurkan masjid melalui optimalisasi peran dan fungsinya tersebut di atas tidaklah mudah, diperlukan kemampuan manajerial (idarah) dan kesiapan waktu dari para pengelola masjid. Tentunya harus ada pembenahan internal dari jamaah masjid itu sendiri. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain, Perlunya pemahaman akan pentingnya peran dan fungsi masjid sebagai wadah dalam perbaikan umat, mengaktifkan kepengurusan masjid, mengaktifkan kegiatan masjid, meningkatkan kepedulian terhadap amanah masjid, meningkatkan kualitas manajemen (idarah) masjid dan pemeliharaan fisik (ri’ayah) masjid. [Gishar Hamka]

(Buletin Nasional Al Balagh Edisi 09/Rabiut tsani 1431 H/2 April 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon mengisi Komentar karena kritik, saran & komentar sangat kami butuhkan...