by: Agus Sunyoto
Rasul Saw bersabda,’Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging
(mudzghah) yang jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan
jika jelek daging itu maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah daging
itu adalah hati (qalb).’’ (HR. Bukhari & Muslim dari Nu’man bin
Basyir).
Ungkapan Rasul Saw tentang segumpal daging fisik (mudzghah) di dalam dada manusia yang dihubungkan dengan hati (qalb), sering diassumsikan secara kurang tepat dalam memaknai hati (qalb) yang diidentikkan sebagai organ fisik yang disebut hati (mudzghah) tersebut. Sehingga kerusakan pada fisik hati (mudzghah) itu, ditafsirkan akan berakibat kerusakan pada perilaku pemilik hati yang rusak tersebut.
Dalam term sufisme makna al-qalbu
(hati) lebih menunjuk kepada aspek ruhani, substansi halus, anasir
bukan materi yang berfungsi mengenal segala sesuatu dan mampu
merefleksikan sesuatu seperti cermin yang memantulkan sebuah gambar.
Kemampuan qalb dalam merefleksikan suatu hakikat tergantung pada sifat
qalb, sesuai pengaruh inderawi, syahwat, kemaksiatan, dan cinta.
Sepanjang hati itu bersih dari kendala-kendala yang dapat menutupinya,
maka hati dapat menangkap hakikat yang ada. Bahkan di qalb ma’rifat
terjadi.
Menurut At-Tirmidzi, qalb
(hati) adalah pusat dari semua perasaan, pengenalan dan emosi di dalam
diri manusia. Semua perasaan, pengenalan dan emosi manusia akan kembali
ke qalb (hati) dan dari qalb (hati) dikirim kembali ke seluruh tubuh.
Qalb (hati) bersifat otomatik, dapat menyerap segala bentuk emosi yang
ada, dan apabila terbetik di dalamnya suatu aliran perasaan, secara
langsung akan dipancarkan ke seluruh tubuh. Dengan pandangan At-Tirmidzi
ini, hati dapat diibaratkan seperti istana. Jika yang memerintah istana
adalah raja yang baik (ruh), maka akan baiklah semua perilaku si
pemilik hati. Sebaliknya, jika yang berkuasa di istana adalah raja jahat
(nafsu), maka akan rusaklah semua perilaku si pemilik hati.
Imam Al-Ghazali mengungkapkan makna qalb dengan gambaran metaforik
sebagai sumur yang digali di tanah. Sumur itu bisa diisi lewat saluran
pipa dari sungai atau saluran irigasi. Tidak jarang dalam mengisi sumur
dilakukan penggalian lebih dalam sampai didapati sumber air di dalam
tanah. Jika digali lebih dalam, akan memancar air yang lebih jernih,
lebih deras dan tidak ada habisnya. Tidak ubahnya sumur, ungkap
Al-Ghazali, air di dalamnya itulah ilmu pengetahuan. Pancaindera ibarat
saluran pipa atau saluran irigasi, mengisi qalb dengan ilmu pengetahuan
seibarat saluran pipa atau saluran irigasi mengisi sumur dengan air
dari sungai di muka bumi. Qalb diisi ilmu pengetahuan lewat pancaindera
melalui proses membaca, mendengar, merasakan, mengamati, meneliti.
Sementara ada cara lain mengisi air ke dalam sumur, dengan menutup
saluran pipa atau saluran irigasi. Lalu menggali qalb lebih dalam lewat
uzlah, khalwat, mujahadah, muraqabah, musyahadah sampai terangkat tutup
yang menyelubungi, sehingga memancar dari dalam qalb ilmu pengetahuan
yang lebih bersih dan abadi, sebagaimana firman Allah: “Sejatinya,
(al-Qur’an) itu merupakan tanda-tanda yang jelas di dalam dada
orang-orang yang diberi ilmu (Q.S.Al-Ankabut:49).
“Inna
fii jazadi al-mudzghah. Wa fii mudzghah qalb, wa fii qalb fuad, wa fii
fuad ruh, wa fii ruh sirr, wa fii sirr akfa, wa fii akfa ana!” sabda Nabi Saw ini menunjukkan bahwa di dalam mudzghah
terdapat tujuh lapisan anasir halus bukan materi bersifat ruhaniah
yang makin lama makin halus hingga ke pusat anasir hati yaitu ana
(aku). Seibarat istana dengan tujuh ruangan dari yang zhahir sampai
yang bathin yang dilingkari tujuh dinding, setiap ruangan memiliki pintu
dan kunci yang berujung ke pusat ruangan paling batiniah di mana sang
raja berada. Adapun yang dimaksud tujuh ruangan di istana itu, dari
luar ke dalam atau dari zhahir ke bathin, adalah:
- Al-Mudzghah, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Jamal (keindahan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Hidayah. Kuncinya adalah Al-Miftah Al-Iqrar (pengakuan);
- Al-Qalbu, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Jalal (kemuliaan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Ra’fah (kesantunan). Kuncinya Al-Miftah At-Tauhid (peng-Esa-an);
- Al-Fuad, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab As-Sulthan (kekuatan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Jud (kemurahan). Kuncinya Al-Miftah Al-Iman;
- Ar-Ruuh, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Ghaiban (kegaiban). Pintunya adalah Al-Bab Al-Majdu (kemuliaan). Kuncinya Al-Miftah Al-Islam;
- Sirr, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Qudrah. Pintunya adalah Al-Bab Al-Atha’ (anugerah). Kuncinya Al-Miftah Al-Ikhsan;
- Akfa, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Adhamah (keagungan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Rahbah (ketakutan). Kuncinya As-Shidqu (shiddiq);
- Ana, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Haya’ (malu). Pintunya adalah Al-Bab Al-Athaf (kelembutan). Kuncinya Al-Ma’rifat.
Untuk bisa masuk ke dalam tujuh ruangan – khususnya ruang ketujuh yang paling ghaib – disyaratkan perjuangan (jihad) ruhani yang tidak ringan. Berbagai laku ruhani seperti uzlah, mujahadah, muraqabah, musyahadah
harus dilakukan sampai dapat melewati ketujuh pintu itu beserta
kuncinya. Berbagai ujian, akan dialami oleh siapa saja yang ingin
memasuki tujuh ruangan suci itu agar bisa ketemu Sang Maharaja Diraja
Yang telah bersabda,”Waladziina jahadu fiina, lanahdiyanahum
subulana!”
Dari : https://www.facebook.com/note.php?note_id=191024230933669
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon mengisi Komentar karena kritik, saran & komentar sangat kami butuhkan...