Oleh Ahmad Munjin Nasih
Pendahuluan
Membicarakan
tentang zakat fitrah, ingatan kita pasti akan tertuju kepada bulan
Ramadhan, bulan yang sangat dimulyakan oleh semua umat Islam karena
sederet aktifitas ibadah bisa dilakukan di sana sekaligus menjanjikan reward yang tak ternilai, mulai dari dibukanya pintu rahmad dan ampunan sampai pada jaminan akan pembebasan dari api neraka.
Zakat
fitrah bagi umat Islam bukan hanya sebuah rutinitas yang berdimensi
sosial yang mengiringi ibadah puasa di bulan Ramadhan, akan tetapi lebih
dari itu zakat fitrah merupakan kewajiban yang diperuntukkan bagi
terwujudnya kesempurnaan ibadah puasa yang dilakukan. Seorang muslim
yang menjalankan ibadah puasa akan merasa kurang sempurna apabila tidak
mengeluarkan zakat fitrah. Sementara itu, bagi umat Islam yang enggan
melaksanakan ibadah puasa sekalipun, zakat fitrah tetap menjadi sesuatu
sesuatu yang penting bagi diri mereka. Ada perasaan tidak “enak” bila
tidak menunaikannya.
Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila pada akhir setiap bulan Ramadan
banyak umat Islam berbondong-bondong membayar zakat fitrah kepada
panitia-panitia zakat fitrah yang ada di masjid, musholla atau
tempat-tempat yang lain. Selanjutnya pihak panitia akan menyalurkan
zakat fitrah tersebut kepada fakir miskin, dan tak jarang pihak panitia
juga menyisihkan sebagian zakat yang terkumpul untuk dibagikan kepada
para anggotanya.
Fenomena
di atas hampir merata kita jumpai di sekeliling kita. Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah adalah apakah konsep kepanitian zakat fitrah bisa
dikategorikan sebagai amil sehingga mereka berhak mendapatkan bagian
zakat fitrah? Dan apakah pendistribusian zakat fitrah bisa disamakan
dengan zakat yang lain? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang akan dicoba
dibahas dalam makalah ini.
Pengertian Zakat Fitrah
Zakat
fitrah adalah sebutan lain bagi zakat fitri. nama zakat yang diberikan
oleh Rasulullah. Nama zakat fitrah dalam literatur-literatur fikih
klasik memang sangat jarang kita jumpai.
Zakat
fitrah dilihat dari komposisi kalimat yang membentuknya terdiri dari
kata “zakat” dan “fitrah”. Zakat secara umum sebagaimana dirumuskan oleh
banyak ulama’ bahwa dia merupakan hak tertentu yang diwajibkan oleh
Allah terhadap harta kaum muslimin menurut ukuran-ukuran tertentu (nishab dan khaul)
yang diperuntukkan bagi fakir miskin dan para mustahiq lainnya sebagai
tanda syukur atas nikmat Allah swt. dan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya (Qardhawi,
1996:999). Dengan kata lain, zakat merupakan kewajiban bagi seorang
muslim yang berkelebihan rizki untuk menyisihkan sebagian dari padanya
untuk diberikan kepada saudara-saudara mereka yang sedang kekurangan.
Sementara itu, fitrah dapat diartikan dengan suci sebagaimana hadits Rasul “kullu mauludin yuladu ala al fitrah” (setiap anak Adam terlahir dalam keadaan suci) dan bisa juga diartikan juga dengan ciptaan atau asal kejadian manusia.
Dari pengertian di atas dapat ditarik dua pengertian tentang zakat fitrah. Pertama,
zakat fitrah adalah zakat untuk kesucian. Artinya, zakat ini
dikeluarkan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan atau
perilaku yang tidak ada manfaatnya. Sebagaimana dinyatakan dalam suatu
hadits
عن ابن عباس قال: فرض رسول الله زكاة
الفطر طهرة للصائم من اللهو و الرفث و طعمة للمساكين. فمن أداها قبل
الصلاة فهي زكاة مقبولة, و من أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas dia berkata bahwasanya Rasulullah mewajibkan zakat
fitrah bagi orang yang berpuasa untuk menghapus kesalahan yang
diakibatkan oleh perkataan dan perilaku yang tidak bermanfaat dan
merupakan makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang
membayar zakat sebelum pelaksanaan sholat ied, maka zakatnya diterima,
dan barangsiapa yang membayarnya setelah melaksanakan sholat ied, maka
ia termasuk sedekah biasa (Asqalani, t.th: 132).
Kedua,
zakat fitrah adalah zakat karena sebab ciptaan. Artinya bahwa zakat
fitrah adalah zakat yang diwajibkan kepada setiap orang yang dilahirkan
ke dunia ini. Oleh karenanya
zakat ini bisa juga disebut dengan zakat badan atau pribadi (Qurthubi,
t.th:279). Semua orang dari semua lapisan masyarakat, baik yang kaya
atau yang miskin selama mereka mempunyai kelebihan persediaan makanan
pada malam hari raya iedul fitri mereka tetap berkewajiban mengeluarkan
zakat fitrah. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
أدوا صدقة الفطر صاعا من قمح – أو قال بر- عن كل إنسان صغير أو كبير, حر أو مملوك, غني أو فقير, ذكر أو أنثى. أما غنيكم فيزكيه الله وأما فقيركم فيرد الله عليه أكثر مما أعطى.
“Bayarkanlah
zakat fitrah satu sha’ gandum atau bur dari setiap manusia, anak-anak
atau orang dewasa, merdeka atau hamba sahaya, kaya atau miskin,
laki-laki atau perempuan. Jika kamu sekalian kaya, maka Allah akan
mensucikannya, dan jika fakir maka Allah akan mengembalikannya dengan
lebih banyak daripada yang diberikannya (Qordowi, 2004:934)
Waktu Pelaksanaannya
Zakat
Fitrah adalah ibadah yang tidak bisa dilepaskan dengan rangkaian ibadah
di bulan Ramadhan, sebab kewajiban berzakat fitrah hanya boleh
dilakukan pada bulan Ramadhan. Dengan kata lain apabila zakat fitrah
dilakukan di luar buan Ramadhan, bisa dipastikan bahwa status zakat
fitrah yang dibayarkan menjadi tidak sah. Rasulullah dalam salah satu
haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menjelaskan
من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة, و من أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات
Barangsiapa
yang membayar zakat fitrah sebelum dia melaksanaan shalat iedul fitri,
maka zakat fitrahnya diterima (dinyatakan sah), akan tetapi barangsiapa
yang mengeluarkannya setelah melaksanakan shalat iedul fitri, maka zakat
fitrahnya hanya dianggap sebagai sedekah biasa.
Kata “qabla al shalah”
(sebelum shalat iedul fitri) dalam hadits di atas menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan para ulama’. Ibnu Hazm melarang mendahulukan
membayar zakat fitrah sebelum terbenamnya matahari di malam hari raya.
Imam Malik dan Imam Hambali berpendapat bahwa boleh membayar zakat
fitrah maksimal dua hari sebelum hari raya. Hal ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa para sahabat mengeluarkan zakat
fitrah satu hari atau dua hari sebelum hari raya.
Sementara
itu, Imam Syafi’i menyatakan bahwa boleh saja seseorang membayar zakat
fitrah sejak awal Ramadhan. Sebab, kewajiban zakat fitrah adalah sangat
terkait dengan kewajiban ibadah puasa, sehingga membayar zakat fitrah
meskipun pada awal bulan adalah sesuatu yang diperbolehkan. Berbeda
dengan ketiga pendapat Imam di atas, Imam Hanafi justru membolehkan pada
awal tahun (Qardawi, 1997:958). Imam Hanafi menganalogkan hal ini
dengan diperbolehkannya seseorang yang hendak membayar zakat pada awal
tahun.
Mengomentari
pendapat-pendapat tersebut Yusuf Qordowi (1997: 994) berpendapat bahwa
pendapat Imam Malik dan Imam Hambali adalah pendapat yang lebih
hati-hati. Ia menambahkan bahwa boleh-boleh saja pemerintah memungut
zakat ini dari masyarakat pada pertengahan bulan Ramadhan jika hal itu
dimaksudkan untuk antisipasi tidak meratanya distribusi zakat fitrah
kepada para mustahiq karena minimnya waktu yang ada.
Panitia Zakat Fitrah
Seperti
dimaklumi bersama bahwa dalam rangka pendistribusian zakat fitrah,
banyak diantara umat Islam membentuk kepanitian zakat fitrah. Kepanitian
ini biasanya dibentuk pada awal atau pertengahan bulan Ramadhan dan
bersifat temporer. Apabila telah selesai menjalankan tugasnya
kepanitiaan ini dibubarkan dan akan dibentuk lagi pada tahun berikutnya.
Tugas utama kepanitian ini adalah menerima, mengatur dan
mendistribusikan zakat fitrah yang dikumpulkan dari kaum muslimin kepada
orang-orang yang telah ditentukan.
Dalam
realitasnya banyak orang menyebut kepanitian ini dengan sebutan amil.
Karena yang diurusi adalah zakat fitrah, mereka selanjutnya disebut amil
zakat fitrah. Penamaan amil zakat fitrah didasarkan pada sebuah
argumentasinya bahwa karena kepanitian tersebut bertugas mengurusi zakat
fitrah. Konsekwensi selanjutnya atas penamaan ini adalah tak jarang
para panitia mendapatkan bagian dari zakat fitrah yang mereka kumpulkan.
Terkait
dengan persoalan ini, Yusuf Qardawi (1997:545) berpendapat bahwa amil
zakat adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat,
mulai dari pengumpul sampai kepada bendahara dan penjaganya. Demikian
juga mulai dari pencatat, sampai kepada para penghitung yang mencatat
keluar masuknya zakat dan membagi kepada para mustahiknya. Ditambahkan
oleh Qardawi bahwa mereka hendaknya diangkat oleh pihak negara dan
digaji darinya.
Senada dengan pendapat di atas, Mas’udi (1986) berpendapat bahwa amil adalah administratur zakat. Dengan
kata lain bahwa golongan ini bisa diserahkan kepada pemerintah. Artinya
pemerintah bisa mengangkat personal-personal yang bertugas sebagai amil
atau bisa juga pemerintah memfasilitasi masyarakat mendirikan lembaga
zakat. Untuk yang disebut terahir, maka pemerintah harus tetap melakukan
pengawasan kepada masyarakat. Pemerintah dalam rangka mengefektifkan
pengumpulan zakat, bisa membuat lembaga khusus yang menangani zakat,
baik pengumpulan, pengelolaan, dan pentasarufannya.
Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa amil adalah sebuah profesi yang
memberikan kehidupan bagi orang-orang yang bekerja di dalamnya dan
bersifat jangka panjang serta menjadi sumber mata penghidupan. Amil
bukanlah sebuah kepanitiaan yang bersifat temporer dan sementara.
Mustahiq Zakat Fitrah
Al-Qur’an
surat At-Taubah ayat 60 menyebutkan ada delapan golongan yang berhak
menerima zakat. Mereka adalah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab,
gharim, sabilillah, dan ibnu sabil.
انما
الصدقات للفقراء و المساكين والعاملين عليها والمؤلفة قلوبهم وفى الرقاب
والغارمين وفى سبيل الله و ابن السبيل, فريضة من الله والله عليم حكيم.
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
para amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat tersebut dimulai dengan redaksi innama al shadaqat. Kata shadaqat yang berarti zakat-zakat merupakan bentuk jamak dari kata shadaqah. Menurut
Imam Abu Zahroh apabila dilihat dari perspektif ushul fiqih, kata yang
berbentuk jamak dan diikuti dengan partikel “al” yang berfungsi
mengkhusukan, maka kata tersebut tergolong ke dalam bentuk kata “umum”.
Implikasinya adalah bahwa kata tersebut bersifat umum dalam pemaknaannya
yang dengan sendirinya belum boleh dijadikan hujjah terhadap persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Oleh karena itu perlu dicarikan dalil lain yang bisa difungsikan sebagai takhsis untuk mempertegas atau menjelaskannya.
Dengan demikian, kata al shadaqat yang
terdapat dalam ayat 60 surat At Taubah harus difahami sebagai kata yang
bersifat umum demikian juga pihak-pihak yang bisa menerimanya.
Pertanyaan yang muncul dalam memahami kata tersebut adalah apakah
pendistribusian zakat fitrah termasuk dalam kategori ayat tersebut?
Terkait dengan hal ini, ada dua pendapat yang berkembang. Pertama, bahwa distribusi zakat fitrah sama dengan distribusi zakat yang lain. Kelompok ini berpendapat bahwa oleh karena kata al shadaqat bersifat
umum, maka hal itu mencakup semua bentuk zakat tak terkecuali zakat
fitrah (Zuhaili, 1997:1099). Para ulama yang tergabung dalam kelompok
ini adalah para ulama’ dari kalangan Syafi’iyyah.
Kedua,
bahwa zakat fitrah tidak bisa dikategorikan ke dalam ayat 60 surat At
Taubah. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah:
a. Keberadaan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
فرض رسول الله زكاة الفطر طهرة للصائم من اللهو و الرفث و طعمة للمساكين
merupakan takhshish terhadap keberadaan ayat 60 surat at Taubah.
b. Kewajiban yang dibebankan oleh zakat fitrah dan zakat yang lain berbeda.
Dalam zakat seseorang baru diwajibkan mengeluarkan zakat atas hartanya
apabila; 1) Islam, 2) merdeka, 3) harta tersebut merupakan harta
miliknya secara penuh, 4) sudah mencapai satu nisab, dan 5) mencapai
satu khaul (untuk barang-barang tertentu) (Syuja’, t.th:90).
Ketentuan-ketentuan tersebut hanya bisa dipenuhi bagi orang-orang muslim
yang dalam keadaan berkecukupan harta, sedangkan orang muslim yang
miskin rasanya tidak mungkin bisa memenuhi ketentuan di atas. Jika
demikian, maka orang muslim yang miskin tidak berkewajiban mengeluarkan
zakat atas hartanya. Berbeda dengan hal itu, kewajiban zakat fitrah
tidak didasarkan atas berapa banyak harta yang dimiliki, akan tetapi
pada: 1) Islam, 2) mampu menjumpai malam iedul fitri, dan
3) tersedia kelebihan makanan pada malam hari raya untuk dirinya atau
keluarganya (Syuja’, t.th:97). Apabila seorang muslim masih bisa
menjumpai malam iedul fitri sedangkan dia mempunyai kelebihan makanan,
maka yang bersangkutan berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah. Bahkan
bayi yang dilahirkan pada iedul fitri sekalipun, apabila orang tuanya
mamiliki kelebihan makanan, maka wajib bagi dia mengeluarkan zakat
fitrah atas bayinya. Tidak adanya perbedaan antara yang kaya dan miskin
antara yang besar dan yang kecil dalam kewajiban membayar zakat fitrah
sebagaimana dinyatakan dalam hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah;
أدوا صدقة الفطر صاعا من قمح – أو قال بر- عن كل إنسان صغير أو كبير, حر أو مملوك, غني أو فقير, ذكر أو أنثى
c. Tujuan
disyariatkannya zakat fitrah bebeda dengan yang zakat lain. Tujuan
ibadah zakat fitrah adalah untuk mensucikan orang-orang yang berpuasa
dari perkataan dan pernuatan yang tidak bermanfaat yang mereka lakukan
pada saat berpuasa. Sementara itu tujuan ibadah zakat adalah
membersihkan kotoran yang terdapat pada manusia.
Dari
tiga argumentasi di atas, kelompok ini berketetapan bahwa perlakuan
terhadap zakat fitrah tidak bisa disamakan dengan perlakuan terhadap
zakat yang lain. Oleh karena zakat fitrah berbeda dengan zakat yang
lain, maka pendistribusiannya juga berbeda. Zakat fitrah tidak bisa
diberikan kepada selain fakir dan miskin. Kelompok ini juga berpendapat
bahwa redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas secara tegas
menyebut “tu’matun li al masakin” yang artinya makanan bagi
orang-orang miskin. Hadits ini memberikan penegasan bahwa mereka yang
berhak menerima distribusi zakat fitrah adalah fakir dan miskin dan
bukan enam ashnaf (golongan) yang lain.
Yusuf
Qardawi (1997:965) menyebut ada beberapa ulama yang tergabung dalam
kelompok kedua yang menghususkan distribusi zakat hanya kepada fakir dan
miskin. Mereka adalah Imam, Muhammad Ibnu Rusyd al Qurthubi,
ulama’-ulama’ dari madzhab Malaki, Ahmad bin Hambal, Ibnu Taymiyyah,
Ibnul Qoyyim al Jauziyah, Imam Hadi, Qashim dan Imam Abu Thalib.
Sementara itu Wahbah Zuhaili (1997:2048) menyebut bahwa ulama’-ulama
dari madzhab Hanafi juga ada dalam barisan ini.
Ibnu
Rusyd (t.th:282) berpendapat bahwa para ulama’ bersepakat bahwa zakat
fitrah hanya diperuntukkan bagi kaum fakir dan miskin yang muslim.
Senada dengan Ibnu Rusyd, Ibnul Qoyyim (1999:74) menyatakan:
“Beliau
(Rasulullah) memberikan zakat fitrah ini secara khusus kepada
orang-orang miskin dan tidak menyalurkannya kepada delapan kelompok
secara merata serta tidak memerintahkannya. Tak seorang pun di antara
para sahabat Nabi yang juga melakukannya”
Zuhaili
(1997:2048) menjelaskan bahwa para ulama dari madzhab Hanafi telah
bersepakat bahwa zakat fitrah hendaknya didistribusikan kepada fakir
miskin yang muslim, terkecuali untuk kelurga bani Hasyim. Sebab bani Hasyim adalah orang-orang yang mulia sehingga mereka tidak patut mendapatkannya.
Sementara
itu, Qardawi (1997:963) berpendapat bahwa menurut kesepakatan para
ulama bahwa zakat fitrah hanya diperuntukkan kepada fakir miskin yang
bergama Islam. Qardawi menambahkan bahwa dikhususkannya zakat fitrah
untuk kaum fakir dan miskin muslim adalah sejalan dengan perintah Rasul
agar umat Islam bisa mebantu saudara muslim lainnya yang sedang
kekurangan pada hari raya. Rasulullah s.a.w bersabda: أغنو هم فى هذا اليوم
“Cukupkanlah mereka (kaum fakir miskin) pada hari itu (iedul fitri)”
Penutup
Dari
beberapa hal yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa zakat
fitrah dan zakat pada umumnya memiliki perbedaan yang signifikan, yakni
dalam dasar penentuan kewajiban, waktu pelaksanaan, sasaran wajib zakat, maupun para mustahiqnya.
Dilihat
dari aspek dasar penentuan kewajiban antara zakat fitrah dan zakat yang
lain ada perbedaan yang sangat mendasar. Zakat fitrah merupakan
kewajiban yang bersumber pada keberadaan pribadi-pribadi (badan),
sementara zakat-zakat selain zakat fitrah adalah kewajiban yang
diperuntukkan karena keberadaan harta. Meskipun
dalam hal pendistribusian zakat fitrah terdapat perbedaan pendapat,
yakni antara yang memperbolehkan dibagikan kepada seluruh ashnaf yang
delapan dan antara yang hanya memperbolehkan kepada fakir dan miskin,
akan tetapi apabila dilihat dari maqashid al syari’ah atau
berbagai pertimbangan logis disyariatkannya zakat fitrah, maka tampak
bahwa yang paling mendekati ke arah sana adalah pendapat yang hanya
mengkhususkan zakat fitrah kepada fakir dan miskin.
Amil
zakat fitrah sebagaimana lazim disebut orang tidak bisa dikategorikan
ke dalam amil zakat. Sebab, panitia zakat fitrah hanya bersifat
temporer, sementara amil bersifat jangka panjang. Paniti zakat fitrah
tidak bisa dijadikan sebagai sumber mata pencaharian sementara amil
diorientasikan sebagai lapangan pekerjaan yang sekaligus menjadi mata
pencaharian bagi mereka yang berkecimpung di sana.
Untuk
memperjelas perbedaan antara zakat fitrah dengan zakat mal, berikut ini
kami sajikan perbedaan keduanya dalam bentuk tabel.
Beberapa perbedaan antara Zakat Mal dan Zakat Fitri
No
|
Jenis Perbedaan
|
Zakal Mal
|
Zakat Fitri
|
1.
|
Nishab
|
Ada batas nishab
|
Tidak ada
|
2.
|
Khaul
|
Ada
|
Tidak ada
|
3.
|
Orang yang diwajibkan
|
Bagi orang yang berkecukupan, telah baligh
|
Semua orang, baik yang berkecukupan ataupun miskin, baik yang dewasa maupun anak-anak.
|
4.
|
Waktu
|
Kondisional, sesuai dengan perhitungan khaul.
|
Hanya dikeluarkan pada akhir bulan Ramadhan
|
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an al Karim
Asqalani, Ibnu Hajar. T.th. Bulugh al Maram. Surabaya. Hidayah.
Al Jauziyyah, Ibn Qayyim. 1999. Zadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat. Jakarta. Pustaka Azzam.
Mas’udi, Masdar Farid. 1986. Islam agama Keadilan. Jakarta. LP3M.
Qardawi, Yusuf. 1997. Hukum Zakat. Jakarta. Litera Antar Nusa.
Syuja’, Abu. T.th. Fath al Qarib. Surabaya. Hidayah.
Zuhaili, Wahbah. 1997. Fiqh al Islam wa adillatuh. Beirut. Dar al Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon mengisi Komentar karena kritik, saran & komentar sangat kami butuhkan...