Minggu, 22 April 2012

PERAN DAN FUNGSI MASJID DALAM ISLAM

Kata "masjid" dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali dalam Al-Quranul Karim. Berasal dari akar kata: sajada-yasjudu-sujudan, yang secara etimologis berarti tunduk, patuh dengan mengakui segala kekurangan, kelemahan dihadapan Yang Maha Kuasa dan Sempurna. Rasulullah SAW berkata dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim: “Yang paling dekat keadaan salah seorang diantara kamu dari Tuhannya adalah ketika ia sujud.”
     Jika sujud adalah situasi dan posisi seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya, maka masjid (nama tempat) secara bahasa berarti: tempat atau wahana seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Ta`ala (taqarrub). Taqarrub adalah merupakan misi/sasaran inti dari ibadah. Maka, masjid secara etimologis adalah tempat untuk mendekatkan diri pada Allah Ta`ala, disamping ia juga adalah sebagai pusat ibadah, baik mahdhah maupun ghairu mahdhah.
   

Dengan pendekatan kebahasaan tersebut kita dapat merumuskan bahwa masjid secara terminologis adalah: suatu badan (institusi) yang diperuntukkan sebagai pusat ibadah dari orang-orang mukmin, dimana sentral kegiatan mereka berpusat disana, mulai dari kegiatan menghambakan diri kepada Allah Ta`ala sampai kepada perjuangan hidup yang berdimensi dunia semata.
     Dari sinilah dapat kita memahami bahwa sebutan masjid, sesungguhnya orientasi fungsinya harus lebih menonjol ketimbang orientasi fisik bangunannya seperti firman Allah Ta`ala dalam surat Al-Isra' dimana tatkala Allah Ta`alamenerangkan peristiwa Isra' nabi Muhammad SAW disebut dari masjid Al-Haram ke masjid Al-Aqsa, padahal secara fisik masjid yang disebutkan belum ada seperti yang dapat kita saksikan sekarang.
     Salah satu keistimewaan dari syariat Muhammad SAW dibanding nabi lainnya, adalah "seluruh bumi dapat dijadikan masjid". Berangkat dari pengertian-pengertian tadi, kita dapat memahami betapa sentralnya peran masjid di tengah-tengah umat Islam, dia menjadi pusat aktifitas dan kegiatan mereka, baik dalam bentuk ibadah khusus (ritual) maupun ibadah umum (sosial) dan hal-hal ini telah dicontohkan sendiri oleh Rasulullah SAW sejak di masjid Quba sampai di masjid Nabawi di Madinah. Allah berfirman dalam Al-Quran: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu kepunyaan Allah Ta`ala, maka janganlah kamu menyeru seseorang beserta-Nya.” (Q.S. Al-Jin (72):18)
     Barangkali berangkat dari ayat inilah, maka muncul sebutan Baitullah (rumah Allah) untuk menyebut masjid. Tentu saja dalam arti kiasan (majazi) bukan berarti secara fisik Allah Ta`alabertempat tinggal di masjid, karena Dia tidak terikat ruang dan waktu. Mengingat artinya adalah kiasan, maka pengertiannya bisa banyak: rumah tempat memohon rahmat Allah, rumah tempat memperoleh rahmat Allah Ta`ala, rumah tempat meminta kepada Allah Ta`ala, dan sebagainya sejauh yang dapat dikandung oleh pengertian peran dan fungsi rumah.
     Minimal ada dua konsekuensi logis dari sebutan mesjid sebagai bait Allah Ta`ala:
a. Tidak boleh ada orang, baik individu maupun kelompok yang mengklaim bahwa masjid adalah milik mereka. Karena itu tanah masjid statusnya harus menjadi tanah wakaf, yaitu tanah yang dipindahkan kepemilikannya dari manusia menjadi hak milik Allah Ta`ala.
b. Masjid harus dibangun diatas dasar tauhid dan takwa, sehingga karenanya pantangan utama dan pertama dari peran masjid adalah menjauhkan daripadanya hal-hal yang berbau syirik. Firman Allah dalam Al-Quran: “Sesungguhnya masjid itu dibangun diatas takwa” (Q.S. At-Taubah (9):108).  Dalam hadits kita temukan sabda Rasulullah SAW: “Masjid itu rumah tiap-tiap orang beriman.” Yang dimaksud dengan masjid rumah setiap orang mukmin ialah mereka sebagai pemegang amanat dari pemilik mutlaknya yaitu Allah Ta`ala, sehingga mereka itulah yang harus bertanggung jawab terhadap: pengadaannya,pendiriannya, perawatannya,ta'mirnya, pengembangannya,dan pendayagunaannya.
    Dari dua sumber syar'i (Allah Ta`ala dan Rasulullah SAW) tentang sebutan masjid dengan mempergunakan kata bait yang berarti rumah, maka pilihan tersebut pasti mengandung makna yang sangat dalam, paling tidak yang dapat kita kemukakan sebagai berikut:
a. Rumah adalah untuk tempat tinggal, tentu bukan untuk sementara, karena itu masjid adalah akan menjadi tempat tinggal yang membangunnya di syurga. (Hadits Nabawi)
b. Rumah adalah tempat berlindung dari bahaya yang mungkin akan membinasakan penghuninya, demikian halnya masjid akan dapat menyelamatkan manusia dari bahaya syirik, maksiat, kebodohan, dan kemiskinan. Tentu saja hal ini akan tercapai kalau masjid sudah difungsikan sesuai tuntunan Islam menjawab tuntutan zaman.
c. Rumah adalah tempat berteduh dari berganti-gantinya cuaca alam, maka demikian pula masjid, dia akan menjadi tempat berteduh dari pengaruh-pengaruh yang negatif terhadap kaum muslimin sebagai penghuninya.
d. Rumah adalah tempat terbina dan tumbuh suburnya kasih sayang diantara penghuni rumah itu, demikian pula masjid adalah tempat terbinanya persaudaraan dan ukhuwah Islamiyah bagi keluarga muslimin penghuninya.
e. Rumah adalah tempat menyusun rencana, tempat start untuk berangkat bekerja dan bertugas dan tempat kembali mengevaluasi hasil yang dicapai, demikian pula masjid, dia harus berfungsi sebagai tempat musyawarah keluarga muslimin, dari sana mereka berangkat berjihad dan berdakwah, dan kesana hasilnya dievaluasi untuk selanjutnya disusun kembali program berikutnya.
f. Rumah adalah tempat leburnya status-status sosial penghuninya  yang diperoleh diluar rumah, demikian halnya masjid menjadi tempat leburnya status-status sosial antara jendral dengan kopral, pejabat dengan rakyat, konglomerat dengan yang melarat, melalui ikatan ukhuwah Islamiyah, disana tidak boleh lagi ada sekat-sekat birokrasi yang lazim menjadi pembeda antara si angkuh dan si rendah hati.
g.Rumah adalah tempat berhimpunnya kepentingan yang kadang-kadang berbenturan antara penghuni yang satu dengan lainnya, tetapi harus tetap rukun dengan pimpinan kepala rumah tangga, demikian halnya masjid tempat berhimpunnya berbagai kepentingan jamaahnya. Namun harus tetap harmonis, penuh toleransi, keterbukaan berkat kebijakan imam sang kepala rumah tangga muslimin disitu. Dari pendekatan sebuatan bait saja, sudah dapat kita bayangkan betapa besar dan strategisnya peran dan fungsi masjid di tengah masyarakat Islam, pendek kata ia menjadi pusat rumah tangga muslimin untuk segala kemaslahatan hidupnya baik dunia maupun akhirat.

Pembinaan masjid meliputi tiga bidang:
a. Idarah, yakni bidang manajemen mulai dari sumber daya manusia sampai kepada perangkat lunak dan keras manajemennya.
b. 'Imarah, yakni bidang pemakmuran masjid berupa kegiatan-kegiatan pelayanan umat atau jamaah, baik yang berkaitan dengan ibadah khusus atau ibadah umum. Dalam Al-Quran Allah Ta`alaberfirman: “Sesungguhnya yang dapat memakmurkan masjid-masjid Allah itu hanyalah:orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari yang akhir orang-orang yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat dia tidak takut melainkan hanya kepada Allah, maka mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. At-Taubah (9):18). Menurut hemat kita, wallahu a'lam, ayat diatas mengisyaratkan bahwa yang dapat memakmurkan masjid itu hanyalah, orang yang beriman kepada Allah Ta`aladan hari akhir, ini menyangkut aspek aqidah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyangkut aspek syariah, sedangkan tidak takut selain kepada Allah Ta`ala, ini adalah aspek akhlak. Dengan demikian, makmur atau tidaknya sebuah masjid, adalah cerminan dari kekuatan aqidah, syariah, dan akhlak jamaah pendukungnya.
     Dari ayat diatas kita dapat memahami bahwa, ta'mir yang berkaitan dengan kegiatan masjid harus bertitik tolak dari aqidah, yaitu tauhid, tidak ada syirik, dan ikhlas semata karena Allah Ta`ala, mewujudkan syariah, baik ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayat, serta selalu menjunjung tinggi  al-akhlakul karimah.
      Perlu kita garisbawahi bahwa firman Allah Ta`aladiatas menggunakan kata "innama" (hanya), yang dalam 'ilmul ma'ani disebut adawat al-hashr (kata untuk menentukan hanya itu saja, diluar itu tidak bisa), ini menunjukkan bahwa tiga pilar diatas menjadi syarat mutlak untuk makmurnya sebuah masjid.
c. Ri'ayah, yaitu yang menyangkut dengan legalitas bangunan, arsitektur, kebersihan, keindahan, dan segala macam yang berkaitan dengan pembangunan dan perawatan.
     Kebanyakan yang terjadi di kalangan umat Islam dewasa ini khususnya di Indonesia, membangun masjid lebih hanya sebatas bidang fisiknya saja, sementara masalah manajemen, pemakmuran, serta perawatan luput dari perhatian kebanyakan orang, sehingga terjadilah kesenjangan amat lebar antara ajaran dan pengamalannya.
Wallahu a'lam bish-shawab.
 
Drs. Mas`adi Sulthani, MA
Ketua Dewan Da`wah Islamiyyah Indonesia

dari : http://ddiijakarta.or.id/index.php/buletin/60-juni-10/148-juni10.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon mengisi Komentar karena kritik, saran & komentar sangat kami butuhkan...